MengenalGangguan OCD dari Sudut Pandang Psikolog. Oleh: Asri. Editor: Firdaus BS. 03 Agu 2022 20:43. KBRN, Jambi : Permasalahan kejiwaan tak pernah habisnya untuk dibahas. Dalam sebuah dialog bersama Psikolog Ridwan yang juga ketua PRODI PIAUD UIN Jambi mengenal gangguan kejiwaan yang diidap oleh sebagian orang seperti Obsesif Comfulsiv
Ini yang seringkali membuat orang-orang dari luar pulau Jawa bingung, mengapa orang Sunda dan Betawi dan penduduk Jakarta lainnya enggan disebut orang Jawa’, padahal orang Minang, Batak, dan Aceh tak ada masalah disebut sebagai orang Sumatra, orang Lamaholot, Sikka, Manggarai, dan Lio ada masalah disebut sebagai orang Flores, orang Dayak, Banjar, dan Kutai tak ada masalah disebut sebagai orang Kalimantan, dan orang Bugis, Makassar, Bone, Minahasa, Kaili, Gorontalo, dan Toraja tak ada masalah disebut dengan orang ini disebabkan karena saat orang-orang luar pulau Jawa disebut sebagai orang yang tinggal di pulau asli mereka, tidak ada suku yang bernama persis seperti nama pulau tempat mereka tinggal. Tidak seperti di Pulau Jawa yang penduduknya tidak hanya terdiri atas suku Jawa, namun juga ada orang Sunda, Betawi, penduduk Jakarta lainnya, bahkan keturunan pendatang dari luar pulau kita perhatikan peta di bawahBisa kita lihat bahwa orang penutur bahasa Jawa menempati seluruh Jawa Tengah, pesisir utara Jawa Barat dan Banten, dan sebagian besar Jawa Timur. Inilah yang disebut sebagai Tanah Jawa. Di bagian barat dan barat daya tanah Jawa, terdapat Tatar Sunda di mana penduduknya merupakan penutur bahasa batas alami zaman dulu antara orang Jawa yang tinggal di Tanah Jawa dengan orang Sunda yang tinggal di Tatar Sunda adalah sungai Cipamali yang bermuara di pantai Brebes di sebelah utara, dan sungai Ciserayu yang bermuara di pantai Cilacap di selatan. Namun, pada zaman dulu, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sempat meluaskan kekuasaannya hingga mencapai wilayah Kendal di utara dan Bagelen / Bagaluhan Purworejo di selatan. Ada pula dugaan bahwa sebenarnya pun orang Sunda sempat tinggal hingga menjorok hingga Kendal dan Bagelen, namun pada akhirnya terasimilasi menjadi penutur bahasa Jawa Ngapak setelah wilayah tempat tinggal mereka masuk ke dalam wilayah kerajaan Mataram Hindu, Kediri, Singasari, dan selanjutnya adalah ekspansi orang Jawa ke Jawa Barat. Dimulai dari berdirinya kerajaan Islam Cirebon. Walau pendiri kerajaan Cirebon adalah ningrat dari kerajaan Pajajaran yang bercorak Sunda, pada akhirnya kerajaan Cirebon memilih bahasa Jawa sebagai bahasa resminya. Saya menduga hal ini dilakukan untuk lebih mendekatkan diri kepada kerajaan Islam Demak yang berbudaya dan berbahasa Jawa. Pedagang-pedagang dan nelayan-nelayan suku Jawa pun banyak yang mendarat di Cirebon. Pemuka-pemuka agama Islam tentu saja banyak yang datang dari Tanah Jawa karena orang-orang Tanah Jawa terlebih dulu menerima Islam secara masif dibandingkan orang-orang Tatar Sunda. Ada pula cerita tentang Adipati Wiralodra yang berasal dari Bagelen yang membawa banyak pekerja dari Tanah Jawa dan keluarga mereka untuk memperbaiki pelabuhan di muara sungai Cimanuk di Indramayu yang berbatasan dengan Cirebon. Kerajaan Islam Banten pun didirikan dari gabungan dari para pendatang dari kerajaan Cirebon dan Demak yang tinggal di wilayah pesisir utara. Adanya orang-orang Jawa yang masuk ke wilayah utara Jawa Barat ini membuat orang Sunda lebih banyak ditemukan di daerah selatan menjauhi pesisir Jawa yang tinggal di pesisir utara Banten, Indramayu, dan Cirebon mengembangkan budaya sendiri, independen dari budaya Jawa yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan berbeda dengan budaya Jawa Tegal-Banyumasan yang lebih sering dikenal sebagai budaya Jawa Ngapak. Memang ada orang-orang Banten utara, Indramayu, dan Cirebon yang tidak mau disebut sebagai orang Jawa, namun sebenarnya secara kebudayaan dan bahasa, mereka masih bisa digolongkan sebagai orang Jawa, meski memang budaya mereka lain dengan budaya Jawa di Jawa Tengah dan Jawa orang penduduk Banten utara, Indramayu, dan Cirebon bahkan menyebut tempat tinggal mereka sebagai Tanah Jawa. Sementara itu, penduduk Tatar Sunda memiliki budaya dan bahasa yang lain dari penduduk Tanah Jawa. Kekerabatan antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda sebenarnya tidaklah terlalu dekat. Bahasa Sunda malah sebenarnya lebih dekat dengan bahasa Melayu dan Bali daripada dengan bahasa Jawa. Karena perbedaan budaya dan bahasa itulah maka suku Sunda sebagai penduduk Tatar Sunda enggan disebut sebagai orang Jawa, karena di pikiran mereka, orang Jawa itu berarti orang yang berbahasa dan berbudaya Jawa. Contoh percakapan berbahasa Sunda. Orang Jawa yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan lebih mengerti percakapan bahasa Jawa Cirebonan yang saya bagikan tadi dibandingkan dengan percakapan bahasa sebagai pewaris sejarah yang dimulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia, pun sebenarnya pun merupakan wilayah yang dulunya masuk ke dalam Tatar Sunda. Orang Sunda adalah penduduk asli daerah yang sekarang bernama Jakarta, sementara orang Betawi baru mulai terbentuk begitu Batavia dijadikan koloni karena aslinya Jakarta, yang dulunya bernama Sunda Kelapa, adalah wilayah Tatar Sunda, maka penduduk Jakarta juga merasa berbeda dengan orang Jawa. Mereka jelas menolak disebut sebagai orang Jawa. Meski terdapat migrasi besar-besaran suku Jawa ke Batavia hingga Jakarta, suku Jawa tidak pernah mencapai jumlah mayoritas lebih dari 50% di Jakarta, yang mengakibatkan anak keturunan orang Jawa yang lahir di Jakarta hampir dipastikan akan kehilangan kemampuan berbahasa Jawa, dan pada generasi berikutnya, mereka akan merasa berbeda dengan orang Jawa meski mungkin mereka menyadari bahwa mereka juga keturunan suku Kelapa, Jayakarta, Batavia, dan Jakarta adalah kota multietnis. Tidak ada satu pun etnis yang secara jumlah mendominasi hingga mencapai persentase lebih dari 50%. Karena keadaan multietnis inilah, terjadi percampuran budaya, bahasa, kebiasaan, dan tradisi di antara penduduk Jakarta yang multietnis, yang membuat penduduk Jakarta merasa berbeda dengan penduduk di sekitar mereka, yakni suku Jawa dan Sunda, namun terutama dengan suku ya, karena dulunya merupakan wilayah dari Tatar Sunda, maka pendatang suku Sunda yang merantau ke Jakarta beserta anak keturunan mereka biasanya tidak akan mengatakan mudik ke Sunda’ apabila hendak pulang ke kampung halaman mereka di Jawa Barat dan Banten selatan, namun langsung spesifik mudik ke Bandung’ atau mudik ke Sukabumi’ atau mudik ke Pandeglang’ atau mudik ke Karawang’. Berbeda dengan para pendatang suku Jawa dan anak keturunan mereka yang akan mengatakan mudik ke Jawa’ saat hendak pulang ke kampung halaman mereka di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maksud dari mudik ke Jawa’ di sini adalah mudik ke Tanah Jawa’, baru apabila ditanya lebih rinci, mereka akan menjelaskan lebih detail lokasi kampung halaman mereka di Tanah Jawa, yakni provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Views 4,400
Wah ternyata kondisi schizophrenia itu tidak hanya bisa kita temukan pada sosok "orang gila" yang biasa kita lihat di jalanan ya. Secara medis, sebetulnya orang yang terdekat atau mungkin diri kita sendiri bisa aja jatuh jadi schizo. Sebagai profesional yang berkecimpung di bidang kesehatan mental, gw rasa pemahaman dan keprihatinan kita terhadap kesehatan mental di Indonesia sepertinya

â€ș Sejumlah pemuda di Cirebon, Jawa Barat, mendapat pemahaman baru tentang bangsa yang diisi keberagaman. Kini, berbeda justru menjadi kekuatan untuk bersama menuju Indonesia lebih baik. Nafas toleransi dihembuskan oleh sejumlah pemuda di Cirebon, Jawa Barat. Mereka menyebarkan pemahaman tentang keberagaman yang justru menjadi kekuatan untuk bersama menuju Indonesia lebih baik. KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Rudi Ahmad 36 menjadi fasilitator dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021.Rudi Ahmad 36 berapi-api menyuarakan darurat terorisme di hadapan 20 anak muda di Pendopo Pancaniti, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021. “Sumbu radikalisme yang sudah menyebar ke desa-desa harus dipadamkan, sebelum meledak dan menelan korban,” kata dia. Siang itu, di Desa Sitiwinangun, Jamblang, Rudi yang bersarung, kemeja, dan kopiah, menjadi fasilitator Program Moderasi Beragama. Kegiatan itu digelar Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB Kabupaten Cirebon dan Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan yang berlangsung sekitar tiga bulan itu dilaksanakan di depan masjid, gereja, dan wihara di Jamblang. Tujuannya, memupuk toleransi serta mencegah penyebaran radikalisme, paham yang menghendaki perubahan atau perombakan besar-besaran, mendasar, bahkan dengan kekerasan. Paham ini bisa mewujud memaparkan, selama 2015-pertengahan 2021, terdapat 30 pelaku terorisme berasal dari Cirebon. Sejumlah 17 orang di antaranya dari Jamblang. Ada yang ditangkap terkait bom Thamrin dan rencana bom bunuh diri di Istana Negara, Jakarta pada 2016, serta terlibat penusukan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pada data tersebut, peserta terkesiap. Mata mereka melotot seakan tak percaya. Ada juga yang mengangguk, seolah paham pelaku teror tinggal di sekitarnya. Namun, beberapa lainnya mendesak fasilitator agar menyebutkan alamat pelaku. Rudi menolak permintaan lalu memaparkan sejumlah indikasi intoleransi yang bisa berujung radikalisme, bahkan terorisme. Misalnya, temuan buku ajar pendidikan anak usia dini di Cirebon yang mengandung diksi granat, gegana, hingga khurafat harus lainnya adalah menutup diri dengan lingkungan dan kerap mengafirkan pemerintah serta orang lain, termasuk yang satu keyakinan. Pada tingkatan tertentu, mereka menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak. Jihad dipahami membunuh orang lain yang tak sepaham.“Kalau dulu radikalis ekstremis bawa pedang. Sekarang, bawa tudingan kafir,” ucapnya sambil menaikkan jari tahun lalu, pandangan serupa nyaris merasuki pikiran Rudi. Tumbuh di lingkungan pesantren yang cukup konservatif, anak kesepuluh dari 11 bersaudara ini acap kali melabeli kafir sejumlah ritual, seperti ziarah kubur. Ia juga hampir ikut “perang” dalam kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, awal juga Ujian Berat untuk Toleransi di ”Kota Wali” CirebonKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Rudi Ahmad 36 mengajak pemuda menyuarakan toleransi hingga mendeteksi potensi radikalisme dan terorisme, saat ia menjadi fasilitator dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021.Pada 2012, ia bersama rekannya di sebuah organisasi yang mengampanyekan formalisasi syariat Islam berencana menyerang Ahmadiyah di Kabupaten Indramayu, Jabar. “Hampir orang yang akan datang. Kami mau hancurkan tempat ibadahnya. Tapi, enggak jadi,” ujar Rudi yang sempat menuding Ahmadiyah sesat dan harus dikembalikan ke jalan yang bahkan nyaris berada di barisan pelaku terorisme. Salah satu temannya, Muhammad Syarif, adalah pelaku bom bunuh diri di Masjid Adz-Zikro, Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, 11 tahun silam. Syarif merupakan marbut sebuah masjid, sedangkan Rudi kala itu menjadi kerap ikut pengajian bersama di berbagai daerah. Mereka juga acap kali menggerebek tempat penjualan miras dengan dalih mencegah tetapi, Kamis malam, 14 April 2011, di Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, menjadi pertemuan akhir Rudi dengan kawannya itu. “Kang, kalau istri saya cari, bilang aja ngobrol sama sampean,” ucap Rudi menirukan pesan Syarif, malam harinya, 15 April pukul peristiwa tak terduga terjadi. Syarif meledakkan diri saat Shalat Jumat di masjid Polres Cirebon Kota. Sebanyak 29 jemaah terluka, terhunjam serpihan logam, baut, dan paku.“Saya kaget. Selama ini, dia sopan. Bahasanya saja babasan halus. Istrinya juga waktu itu lagi hamil,” ucap Rudi tak percaya temannya jadi pelaku Syarif mengakhiri hidupnya atas nama “jihad” dengan melukai orang lain. Peristiwa ini menancap di batin Rudi. Pada saat yang sama, pergumulannya dengan Fahmina Institute mulai mengubah Rudi sudah mengenal Fahmina sejak kuliah di Institute Studi Islam Fahmina 2009. Namun, baru sekitar 2013, ia kian aktif menimba ilmu di sana. Ia merasa menemukan dirinya yang seutuhnya. Apalagi, sebelumnya, ia sempat drop out dari sebuah kampus itu, ia nyaris putus asa karena lamarannya kepada seorang perempuan ditolak. Ia juga pernah merantau keluar Cirebon, bekerja di sebuah pabrik. Namun, di Fahmina, ia berhasil menamatkan kuliah dan menemukan pandangan FIKRI ASHRI Sejumlah pemuda mengikuti Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021.Misalnya, hak memeluk keyakinan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, hingga toleransi. “Toleransi ini enggak ada batasnya. Kita sendiri yang membatasi,” kata Rudi yang mengenakan kaos bertuliskan “Kebencian membuat hidup menjadi gelap, cinta membuatnya bercahaya”.Akan tetapi, persinggungan Rudi dengan aktivis Fahmina tidak melulu berjalan mulus. Batinnya sempat bergejolak ketika Fahmina dipandang sesat oleh sejumlah kelompok Islam di Cirebon. KH Husein Muhammad, salah satu pendiri Fahmina, misalnya, pernah mendapat cap liberal, terutama pemikirannya soal kesetaraan ingin berpolemik, Rudi sempat merahasiakan aktivitasnya di Fahmina dari keluarganya. Ketika orangtuanya bertanya tempat kuliahnya, Rudi enggan menyebutkan Fahmina. Ia juga memilih di belakang layar saat menjadi salah satu deklarator Pemuda Lintas Iman atau Pelita, yang latar belakang keyakinannya ini enggak ada batasnya. Kita sendiri yang membatasi. Rudi AhmadHingga suatu hari, mendiang bapaknya mendengar kabar tentang kesibukannya. Ternyata bapaknya tidak marah dan hanya berpesan agar Rudi tidak macam-macam. Entah apa maksudnya. Namun, staf Fahmina Institute ini memastikan bahwa apa yang ia lakukan justru memperkuat akidahnya, bukan memperlemah. Toh, ia tetap mengaji, shalat, dan menjalankan ibadah juga Sekolah Moderasi Beragama, Jalan Menjadi Indonesia yang BinekaSuara di kertasKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Sejumlah pemuda berdiskusi dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021. Kegiatan itu digelar oleh Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB Kabupaten Cirebon bersama Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Selain di Jamblang, kegiatan serupa juga digelar di Kecamatan Arjawinangun, Weru, Losari, dan juga turut membarui pemikiran Komala Dewi 37 tentang Islam. Dia merasakan sesuatu yang belum pernah didapatkan kuliah di Cirebon, 2006, Dewi langsung didekati kelompok dakwah kampus. Mereka membantunya mencari indekos yang murah hingga aktif di unit kegiatan ekonomi saat yang sama, ia diwajibkan mengikuti mentoring oleh murabbi guru sepekan sekali. Di sana, Dewi belajar tentang bagaimana membatasi diri dengan umat selain Islam, hingga diskriminasi peran perempuan.“Kalau rapat, perempuan enggak boleh bersuara. Suaranya cukup pakai kertas,” kata alumnus pondok pesantren asal Bandung, Jabar ini. Ia sama sekali tak keberatan saat itu. Dewi kadung merasa punya utang jasa dengan teman dan seniornya di kelompok belakangan ia terpapar pemikiran tentang khilafah atau negara Islam untuk Indonesia. Pemerintah dan polisi dikatakan sebagai thogut, golongan yang patut diperangi.“Teman saya mendoktrin itu di kampus, kamar, bahkan dapur,” suatu hari, ia mengikuti dialog lintas agama yang digelar Fahmina. “Saya ketemu langsung dengan tokoh agama, seperti Pastur, Romo, dan lainnya. Saya lihat mereka damai banget, adem. Islam harusnya seperti ini,” pun rajin hadir di acara Fahmina, terlebih soal perempuan dan kesehatan reproduksi. Dewi menyukai kedua isu itu karena sangat jarang dibahas selama di pesantren dulu. Akan tetapi, lembaga dakwah tempatnya bernaung melarangnya. Kesehariannya pun terpantau oleh teman organisasinya.“Puncaknya, kosan saya diketok kayak peristiwa penculikan G 30 S Gerakan 30 September. Saya lalu diajak tempat sepi dan didoktrin, jangan sampai ikut Fahmina lagi,” ujarnya. Namun, hatinya menolak. Dewi tak menemukan berbagai stigma buruk tersebut di FIKRI ASHRI Celengan buatan warga dijemur di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu 18/12/2021. Jamblang merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi tempat penangkapan pelaku teroris. Padahal, kerukunan antarumat beragama di Jamblang selalu terjaga.“Yang saya dapatkan di sana toleransi, cinta kasih sesama. Buat mereka, kafir itu yang berbeda dari mereka. Sedangkan Fahmina mengartikan kafir orang yang tidak menerima keadilan,” melalui komunitas Bayt al-Hikmah, ia giat mengampanyekan kesehatan reproduksi, hak perempuan, hingga keragaman gender. Dewi juga menjadi salah satu fasilitator dalam Program Moderasi Fahmina Institute Rosidin membenarkan, Rudi dan Dewi sempat diselimuti keraguan saat bergabung di Fahmina. Sama dengan sejumlah anggota lainnya yang umumnya berasal dari pesantren, mereka takut keyakinannya berganti. Ternyata, kekhawatiran itu tak terwujud.“Cara mengubah ketakutan itu ya mereka mendengarkan, memahami, dan menghargai perbedaan. Intinya, mereka juga tidak setuju menggunakan kekerasan untuk memaksakan pandangan ke orang lain,” dan Rudi menjadi contoh jalan toleransi. Bahkan, keduanya kini mencetak kader toleran. Salah satunya, Vrisca Cornelia 18, peserta Program Moderasi Beragama di Jamblang selama tiga bulan. Menjalani pendidikan dasar hingga menengah di sekolah Kristen, untuk pertama kalinya ia bertukar pikiran dengan pemuda ia melihat Islam itu radikal. Ia juga iri dengan mudahnya orang membangun masjid dibandingkan gereja. Sebagai Kristen, ia sempat merasa minoritas sedangkan Islam mayoritas sehingga masalah umat Islam bukan urusan agamanya.“Ternyata, Islam dan Kristen itu sama-sama mengajarkan untuk mengasihi sesama. Saya mau cerita ke teman-teman gereja soal ini. Ayolah, kita harus bersuara tentang toleransi. Kita tidak bisa berjuang sendiri,” juga Toleransi Tetap Bersemi Meski Pandemi Mendera Kota Wali EditorCornelius Helmy Herlambang

Islami— Rasulullah SAW dibuat keheranan dengan sikap iblis yang ketakutan dan gemetaran ketika melihat orang sedang tidur. Tetapi jika dengan orang yang se sama sekali tidak takut dengan orang yang sedang shalat. Rasulullah pun berikan alasannya berikut ini Hari itu sangat cerah. Dalam jangka waktu yang lama, kota tidak pernah ditimpa hujan. Ilustrasi perang di laut. Banten dan Mataram, sama-sama kerajaan Islam, namun bermusuhan. Banten menolak tunduk kepada Mataram. Untuk mendesak Banten, Mataram menggunakan kaki tangannya Cirebon. Cirebon pun sampai berperang dengan Banten. Dua utusan dari Cirebon, Jiwasraya dan Nalawangsa, datang ke Banten. Mereka gagal membujuk Sultan Banten untuk mengakui kekuasaan Mataram. Utusan berikutnya adalah seorang sentana keluarga raja, yaitu Pangeran Martasari, dan putranya, berserta Tumenggung Wiratantaha. Martasari dijamu dengan meriah oleh Pangeran Adipati, putra Sultan Abulmaali. Namun, dia gagal membujuk Sultan Banten, Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir 1596-1651, untuk pergi bersamanya menghadap Sultan Mataram. “Sultan Banten tidak mau mengakui raja mana di atasnya selain Sultan Mekah, yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah,” tulis de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Kegagalan Martasari membuat marah Patih Mataram, Tumenggung Singaranu. “Singaranu marah dan menuntut bukti kesetiaan Martasari kepada Cirebon. Dia diperintahkan untuk menyerang Banten,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten. Martasari didampingi Ngabei Panjangjiwa memimpin armada berkekuatan 60 kapal berlayar menuju Banten. Untuk meladeni pasukan Cirebon, Banten menyiapkan 50 kapal di bawah pimpinan Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa, dan Demang Wirapaksa. Sultan Banten menjanjikan hadiah dua ribu rial dan sehelai kampuh kain kebesaran apabila memenangkan peperangan. Baca juga Pemberontakan untuk Memulihkan Kesultanan Banten Setiba di pelabuhan Tanara, Astrasusila menunggu sambil bersembunyi di Tanjung Gede. Narapaksa dan Wirapaksa bersembunyi di Muara Pasiliyan. Pada pagi hari, sebagian pasukan Cirebon di bawah Panjangjiwa memasuki pelabuhan Tanara. Mereka disergap dan Panjangjiwa menyerah kepada Wirapaksa. Dia dikirim kepada Sultan Banten yang mengampuninya. Ketika orang Cirebon lainnya tiba, mereka melihat senjata terapung. Mereka tak tahu kalau Panjangjiwa tanpa perlawanan sedikit pun telah menyerah. Mereka diserang tiba-tiba oleh Astrasusila dan dua orang demang. Hanya satu kapal yang selamat di bawah Martasari. Lima puluh kapal dirampas. Para awak kapal tidak melawan, dibelenggu, dan diturunkan di padang Sumur Angsana. “Di sana mereka dibunuh, sekalipun mereka minta ampun. Kepala mereka dikirim ke Surosowan,” tulis De Graaf. Keraton Surosowan merupakan tempat tinggal Sultan Banten yang dibangun antara tahun 1552 sampai 1570. Menurut Titik, Sultan Banten marah karena kelakuan prajuritnya yang kejam pada prajurit Cirebon. “Peristiwa penyerbuan Cirebon ke Banten ini disebut Pacirebon Pacaebonan atau Pagarage,” tulis Titik. Perang Banten-Cirebon itu terjadi pada hari ke-30 bulan Ramadan. Pada hari Lebaran para prajurit kembali ke Banten. “Bulan Ramadan tanggal 30 itu jatuh pada tanggal 22 Desember 1650. Hari Lebaran jatuh pada hari berikutnya,” tulis De Graaf. AA. 5 Kata yang Sering Diucapkan Orang Cirebon (Unsplash.com) Sebagai orang Cirebon asli yang pernah merantau ke Jawa bagian tengah mentok Jogja, tentu ada sedikit bekal bahasa Jawa halus yang bisa saya praktikkan. Di Cirebon juga terdapat bahasa bebasan dan krama inggil, lho. Saya sering merasa aneh ketika menyebutkan bahasa Jawa yang biasa

Selainitu, rasa takut terhadap jarum juga dapat tercipta akibat pengalaman buruk saat berobat ke dokter. Biasanya, pengalaman buruk yang terjadi sebelum seseorang berusia 10 tahun ini yang akan berpengaruh terhadap munculnya fobia terhadap jarum suntik. Supaya orang yang takut terhadap jarum suntik ini bisa "sembuh", Antony menganjurkan adanya

Sesungguhnyakekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah" (QS. An Nahl: 99-100). Maka dari itu, semoga Anda bisa menyadari bahwa ketakutan yang harus ditumbuhkan adalah takut pada Allah karena melanggar laranganNya, bukan takut pada makhluk-Nya. TidakSemua Orang Madura Kasar. Harga diri merupakan sesuatu yang paling penting bagi orang-orang dari Suku Madura. Terdapat satu peribahasa yang menjadi pegangan mereka dalam hidup, Lebbi Bagus Pote Tollang, Atembang Pote Mata, artinya lebih baik putih mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat semacam ini seringkali melahirkan ï»żJadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan." Ibrani 12: 28-29 Di beberapa negara, kepercayaan pada okultisme sangatlah menonjol. Negara-negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia yang dulunya berlatar belakang 0eMn8.
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/376
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/222
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/36
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/219
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/270
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/245
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/275
  • 2usm5ln8d8.pages.dev/251
  • kenapa orang banten takut sama orang cirebon